Jakarta – Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan pihaknya tengah mengkaji adanya tersangka baru dalam kasus penjualan dua tanker (Very Large Crude Carrier) milik Pertamina, setelah menetapkan Ariffi Nawawi (mantan Dirut Pertamina), Alfred Rohimone (Mantan Direktur Keuangan Pertamina) dan Laksamana Sukardi (mantan Komisaris Utama Pertaminan dan Menneg BUMN), pekan lalu.
Hendarman juga membantah tudingan Laksamana yang menilai ada ”muatan” politis dalam kasus tersebut. Sebaliknya, mantan Menneg BUMN tersebut tak mau sendirian dijadikan tersangka. Menurut Laksamana, mantan Presiden Megawati Soekarnoputri juga harus dijadikan tersangka dalam kasus penjualan dua supertanker itu.
”Kita melihat ada perbuatan melawan hukum dan merugikan negara. Penjualan kapal tanker Pertamina itu belum mendapatkan izin dari Menteri Keuangan. Jadi tidak ada unsur politis. Kita hanya dapat laporan dari Panja dan didukung alat bukti,” kata Jaksa Agung Hendarman Supandji, di Jimbaran, Bali, Senin (5/11).
Hendarman menambahkan pihaknya sudah menerima keterangan lebih dari 40 saksi dan didukung barang bukti. Dari hal inilah kemudian muncul penetapan nama-nama yang dijadikan tersangka.
Ia tak menafikan, masukan dari Pansus Pertamina DPR, khususnya soal penjualan VLCC, juga menjadi dasar pertimbangan untuk mendalami barang bukti.
Sementara itu, Jampidsus Kemas Yahya Rahman mengatakan pihaknya akan memberikan keterangan yang dilontarkan Laksamana soal status ”saksi” pada pemanggilannya. Namun, menurut Kemas, salah tulis status ”saksi” pada surat pemanggilan pemeriksaan tersangka korupsi untuk Laksamana Sukardi tidak mempengaruhi pemeriksaan. ”Itu hanya administrasi. Jadi ya enggak pengaruh," ujar Jampidsus Kemas Yahya Rahman di Gedung Bundar Kejagung, Senin ini.
Sebaliknya, Laksamana mengungkapkan dirinya telah menerima surat pemanggilan pemeriksaan kasus VLCC pada Kamis 8 November. Pada sampul surat panggilan itu tertulis status Laksamana sebagai saksi, namun di dalamnya status Laksamana adalah tersangka meski tidak ada pasal-pasal yang dijeratkan padanya.
Lapor ke Presiden
Mantan Menneg BUMN yang sebelumnya juga politisi asal PDIP itu menilai, penetapan tersangka harus juga dikenakan kepada Megawati. Alasannya, Laksamana hanya menjalankan perintah Presiden melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Wewenang Menkeu Kepada Menneg BUMN.
”Seharusnya Megawati juga tersangka. Saya hanya pelaksana. Kalau saya dijadikan tersangka, Mega pun harus dijadikan tersangka. Penjualan tanker ini juga selalu saya konsultasikan pada Presiden,” ungkap Laksamana dalam keterangan pers di kantor PKN PDP Jakarta, Minggu (4/11).
Secara tidak resmi, Laksamana mengatakan dirinya sering konsultasi dengan Presiden maupun Menko Perekonomian (waktu itu) Dorodjatun Kuntjorojakti. Tapi, secara hukum, Megalah yang memindahkan wewenang Menko Perekonomian kepada Menneg BUMN.
Laksamana Sukardi juga akan segera melaporkan penetapan statusnya itu ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia menilai penetapannya sebagai tersangka karena ada tekanan politik pada Kejaksaan Agung.
Dalam jumpa pers yang didampingi oleh sejumlah jajaran teras PDP seperti Ketua Pelaksana Harian PKN PDP Roy BB Janis, Sekretaris Didi Supriyanto dan sejumlah Ketua seperti Noviantika Nasution, TE Budi Susilo dan Sukowaluyo Mintorahardjo, Laksamana juga didampingi kuasa hukumnya dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) seperti Petrus Selestinus dan RO Tambunan.
Berkali-kali, Laksamana mengatakan bahwa ada sejumlah kejanggalan dalam penetapannya sebagai tersangka yang menunjukkan bahwa kasus itu lebih kental bernuansa politis dibandingkan unsur hukumnya. ”Ada unsur tekanan politik pada kejaksaan untuk menetapkan saya sebagai tersangka. Tekanan politik itu dilakukan untuk menjerat saya,” katanya.
Senin, 05 November 2007
Langganan:
Postingan (Atom)